Senin, 10 Januari 2011

Aku Mencintai Jurnalistik Seperti Aku Mencintai Kekasihku Sendiri

            Di suatu sore, pertengahan bulan April 2010, aku dan sahabatku, Eka Apriliyani, berjalan – jalan menikmati pemandangan matahari terbenam di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Kami asyik bercengkrama tentang banyak hal, sampai ketika Eka menanyakan alasanku mengambil jurusan jurnalistik.
“ Aku mencintai jurnalistik seperti aku mencintai kekasihku sendiri. Jurnalistik adalah pilihan hidupku. Jadi, apapun resiko yang terkandung di dalamnya aku telah siap menanggungnya. Aku tidak mencari kekayaan di profesi ini. Tapi yang aku cari adalah sebuah kepuasan batin saat aku bisa memberitakan sebuah peristiwa secara jujur dan lengkap tanpa ada yang ditutup – tutupi kepada masyarakat luas. Karena menjadi seorang jurnalis lebih dari sekadar pekerjaan. Bagiku, menjadi seorang jurnalis adalah sebuah panggilan jiwa yang harus aku tunaikan dengan sebaik – baiknya”.
            Itulah jawaban yang aku katakan kepada Eka Apriliyani, yang merasa heran atas pilihanku mengambil jurusan jurnalistik. Sedikit jengah atas semua keheranan yang gadis itu tujukan padaku, aku pun bertanya balik, “ Memang apa yang salah dengan jurnalistik? Bukankah jurnalistik adalah sebuah bidang ilmu yang cukup unik dan berbeda dari bidang – bidang ilmu lainnya? Semua bidang ilmu itu baik, tapi kenapa kamu seperti memandang sebelah mata jurusan jurnalistik?”. Tak ada jawaban. Yang aku dapat hanya seulas senyum kecut dari Eka yang menganggap jawabanku barusan tak ubahnya nyanyian sendu penghantar tidur.
            Sampai akhirnya Eka menjawab,” Aku tidak memandang remeh ilmu jurnalistik, Dwi. Tapi aku tidak habis pikir, kenapa kamu berani mengambil resiko sedemikian besar dengan mejadi seorang jurnalis? Motivasi apa di balik kuatnya keyakinan kamu untuk menjadi jurnalis? Dan apakah kamu menyadari betul resiko yang ditanggung seorang jurnalis? Kamu bisa saja diteror oleh orang – orang yang tidak menyukai pemberitaan kamu, bahkan lebih buruk dari itu, kamu bisa meninggal saat sedang meliput. Apakah kamu tahu itu, Dwi Andari??”.
            Jantungku berdegup keras saat disodori pertanyaan tersebut. Bukan karena aku tidak bisa menjawab. Justru karena aku sudah siap dengan jawaban yang selama ini aku pegang teguh sebagai janji setiaku pada profesi ini.
            Dengan penuh kemantapan hati aku menjawab,
“ Menjadi seorang jurnalis adalah cita – citaku semenjak aku kecil. Seperti yang barusan aku katakan padamu Eka, bahwa aku memilih profesi ini bukan untuk mencari kekayaan financial. Tapi lebih dari itu, aku mencari sebuah kepuasan batin yang tak dapat diukur oleh materi. Aku memilih menjadi jurnalis justru karena aku sudah mengetahui segala resikonya, dan aku siap, bahkan untuk kemungkinan terburuk sekalipun. Karena mati dalam menegakkan kebenaran adalah sebuah perjuangan mulia yang mungkin hanya aku rasakan sekali seumur hidup. Bukankah mati dan kematian ada di tangan Sang Khalik yang maha Mengetahui? Lalu kenapa harus takut? Yang aku takutkan hanyalah Dia, sang Pemilik Kehidupan. Aku tahu ini tak akan mudah. Tapi aku yakin, dengan kesabaran tanpa akhir dan perjuangan dalam memberikan berita yang jujur kepada masyarakat, keterbukaan informasi pasti akan terwujud. Akan tercipta sebuah system pemberitaan yang independen. Di mana semua lapisan masyarakat dapat mengetahui segala peristiwa tanpa ada kebohongan, atau rekayasa. Eka, jika menjadi jurnalis adalah kebahagiaanku, kenapa kamu sebagai sahabatku tidak mendukungku?”, aku bertanya pada Eka yang wajahnya sudah menunjukkan kesedihan.
“ Bukan aku tidak mau mendukung semua keinginan yang menjadi kebahagiaan kamu, Dwi. Tapi sudah banyak sekali berita yang menayangkan tentang para jurnalis yang tewas terbunuh karena ulah pihak – pihak tertentu yang tidak suka atas pemberitaan mereka. Jika itu terjadi padamu, bagaimana? Lagipula jika kamu harus liputan jauh sekali dari tanah air dan di daerah konflik, Palestina misalnya, apakah kamu siap?”, kali ini Eka bertanya dengan bahu terguncang, menangis. Jelas sekali bahwa sahabat yang 15 tahun aku kenal itu menyimpan kekhawatiran tersendiri atas diriku. Dalam diam aku terharu pada perhatian Eka. Dari atas jembatan, ku tatap sinar orange matahari sore yang terpantul dari aliran sungai yang airnya telah menghitam.
Sendu aku menjawab karena aku tidak ingin melukai perasaan sahabat yang begitu tulus memperhatikanku.
“ Aku siap, Ka. Di manapun aku ditugaskan nanti, aku sudah siap. Bahkan di daerah konflik yang jauh dari tanah air. Tapi, bukan berarti aku pasukan berani mati seperti beberapa organisasi keagamaan itu. Sambil liputan tentu saja aku akan mencari tempat yang aman. Dapat berita eksklusif tapi tetap aman, itulah seni bertahan menjadi jurnalis. Sudahlah, tidak usah khawatir, semua pasti akan baik – baik saja. Masih banyak juga para jurnalis yang ditugaskan meliput ke daerah perang dan kembali dengan selamat”, kataku sambil tersenyum. Perlahan Eka mulai tersenyum kecil, namun tetap mempertanyakan hal lain mengenai jurnalistik. Kali ini tentang Kode Etik Jurnalistik dan beberapa pemberitaan di media massa.
“ Apa gunanya Kode Etik Jurnalistik itu, Dwi? Apakah semua wartawan Indonesia patuh pada Kode Etik yang telah ditetapkan?”, tanya Eka sambil duduk di atas rumput, tangannya memainkan beberapa ranting kering.
            Sambil meluruskan kaki yang pegal akibat lelah berjalan, aku menjawab,
“ Kode Etik Jurnalistik itu ibarat polisinya para jurnalis. Dibuat agar para jurnalis tidak menyalahgunakan profesinya untuk maksud – maksud tertentu, seperti; pemerasan terhadap narasumber, dan mengeruk keuntungan pribadi atas peristiwa yang diberitakannya. Kode Etik juga mengatur bagaimana seharusnya para jurnalis bertingkah laku dan bersikap di tengah masyarakat sehingga citra positif profesi jurnalistik di mata masyarakat tetap terjaga. Kode Etik Jurnalistik harus dipatuhi wartawan Indonesia karena menjadi pedoman dalam pemberitaan mereka. Wartawan juga manusia, Eka. Ada kalanya melakukan kesalahan. Dengan adanya Kode Etik Jurnalistik, narasumber yang merasa ada kesalahan dalam pemberitaan di media massa bisa langsung memberikan tanggapan, bisa dengan menggunakan hak koreksi atau hak jawab. Jurnalis juga bisa menggunakan hak tolak, yaitu hak untuk menyembunyikan identitas narasumber. Sehingga narasumber tetap merasa aman saat memberikan suatu informasi penting kepada wartawan karena keselamatannya terjamin. Seperti itulah Kode Etik Jurnalistik, Eka”, terangku panjang lebar. Tampak Eka mengernyitkan dahinya, siap memberikan pertanyaan selanjutnya. 
“ Lalu, apa sanksinya jika ada wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, Dwi?”
            Aku menghela napas panjang, berpikir. Ini seperti salah satu sesi kuliah Etika Komunikasi di kampus. Di mata kuliah itulah aku banyak mempelajari tentang Kode Etik Jurnalistik.
“ Sanksi terberat adalah si wartawan yang melanggar harus melepas profesi kewartawanannya untuk selama – lamanya. Tapi biasanya diberlakukan sanksi moral seperti dikucilkan, atau tergantung di perusahaan media mana si wartawan berasal, perusahaanlah yang bisa memberikan sanksi apa yang diberikan kepada wartawan bersangkutan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan”.
            Eka tersenyum, tanda bahwa dirinya telah mengerti semua yang aku jelaskan. Matahari telah sempurna tenggelam di ufuk barat. Kilauan sinar jingga di awan telah berganti gelap. Aku bangkit membersihkan pakaian dari ranting – ranting yang menempel. Kami bersiap pulang. Sambil berjalan santai, Eka berkata,
“ Aku sungguh bangga memiliki seorang sahabat yang begitu teguh berprinsip menjadi seorang jurnalis yang baik. Tapi aku masih punya satu pertanyaan tambahan lagi”, matanya jenaka melirik – lirik ke arahku.
“ Tanya apa lagi nih, bocah? Sudah ah, capek tahu!!!”, aku pura – pura cemberut menatap balik sahabatku itu.
“ Kamu bilang bahwa kamu mencintai jurnalistik seperti kamu mencintai kekasihmu sendiri. Memangnya kekasih kamu siapa, Dwi??”, kali ini Eka betul – betul menggodaku. Aku merasakan wajahku panas, mungkin wajahku telah memerah karena malu. Untunglah gelap, sehingga Eka tidak begitu detail melihat perubahan warna wajahku.
“ Hei, siapa kekasihmu itu Dwi?”, Eka berlari mengejarku
“ Aku jomblo, Eka. Belum punya kekasih”, jawabku singkat. Syukurlah dia percaya, sehingga tak banyak bertanya yang aneh – aneh lagi.
            Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa bahagia. Andai Eka tahu siapakah sosok pria yang kini menjadi pangeran dalam hatiku. Pria yang berhasil mencuri perhatianku juga seorang jurnalis. Dialah yang memberikan motivasi luar biasa padaku untuk mengabdi total pada masyarakat dalam memberikan informasi yang jujur. Namun jauh dalam lubuk hatiku, aku makin bangga menjadi JURNALIS!!! Ayo maju jurnalis Indonesia!!!

1 komentar:

  1. wah.. we have same goal... salam kenal... ^_^
    kunjungi blogku n follback yak... hehhe... *sedikitmaksa

    BalasHapus