Selasa, 11 Januari 2011

Surat Cinta Untuk Mama

Teruntuk,
Mama Tercinta
Yang Dwi sayangi sepenuh hati dan jiwa
                        Assalamualaikum Wr. Wb
            Mamaku sayang, segenap doa cinta aku panjatkan kepada Tuhan kita yang maha Pengasih, Allah SWT, karena atas rahmat dan anugerahNya kita masih bisa menikmati berbagai macam kenikmatan yang tiada henti mengalir ke rumah kita.
            Mama, aku mengetik surat ini karena putrimu ingin mengatakan betapa beratinya diri Mama buatku. Aku ingin mengatakannya secara langsung, tapi aku tidak punya waktu yang tepat. Namun percayalah Mamaku sayang, walaupun lewat surat, tidak mengurangi cinta yang begitu besar dalam hatiku kepada Mama.
            Terima kasih atas semua cinta, kasih sayang, pengorbanan, keringat, serta darah yang mengalir selama ini demi aku, Ma. Sungguh, sampai aku mati pun, aku tak akan pernah bisa membalas cintamu yang begitu tulus. Mama, aku mencintaimu. Aku mencintaimu karena Allah wahai ibuku. Aku bersyukur sekali memiliki seorang ibu yang penuh kelembutan dan cinta tiada akhir kepada anak – anaknya.
            Mama adalah harapanku. Tanpa Mama, aku tiada berarti. Surga di bawah telapak kakimu, ridha Allah sama dengan ridha Mama, begitulah sabda nabiku, Muhammad SAW. Mama entah dengan kata – kata apalagi dapat aku ungkapkan cintaku padamu. Karena cintamu, aku menjadi seperti sekarang ini. Karena kasih sayangmu, aku menjadi mengerti arti hidup. Mama mengajarkan banyak hal yang begitu berarti bagiku dalam menjalani kehidupan ini. Dalam shalat, selalu aku minta padaNya agar senantiasa menjaga dan melindungi Mama.
            Aku mencintaimu, Mama. Engkaulah penyejuk hatiku. Penerang jiwaku. Perisai hidupku. Aku selalu memohon doamu, Mama. Agar bahagia hidup dan matiku. Subhanallah, Mamaku sayang, putrimu benar – benar tak sanggup lagi menemukan kata – kata yang pantas untuk menggambarkan betapa mulianya dirimu. Hanya untaian doa – doa indah untukmu sebagai wujud rasa cintaku, karena apapun materi yang bisa aku berikan, tidak akan mampu menyaingi ketulusan cintamu. Subhanallah.
            Maafkan aku yang sering sekali membantah nasihatmu, ibuku sayang. Maafkan aku yang terkadang membuatmu menangis. Menyakiti hatimu dengan sikap burukku. Maafkan kelancangan putrimu selama ini, Mama. Sungguh, anak bodoh ini telah menyadari kekurangan dan kekeliruan dirinya. Kini putrimu bersujud memohon ampunanmu, Mama. Aku tidak bisa jauh darimu, mama. Aku tidak bisa hidup tanpamu.
            Engkaulah wanita terhebat yang aku miliki, Mama. Aku berikan cinta kasih, hidup, dan nyawaku untuk kebahagiaanmu. Akan aku lakukan apa saja untuk membuatmu senang. Aku begitu mencintaimu, Mama. Sangat amat mencintaimu. Ma, jika air dan matahari adalah elemen penting dalam kehidupan ini, namun bagiku, aku lebih membutuhkanmu, Mama.
            Mama, doakanlah aku agar aku bisa tetap kaffah di jalan Allah. Bimbinglah aku agar aku bisa menjadi wanita yang shalehah. Yang bisa menjaga kesucian dirinya baik di kala ramai maupun sunyi senyap. Ajarkanlah aku agar aku bisa menjadi istri yang baik seperti Mama jika aku menikah nanti. Aku ingin seperti Mama. Mama begitu mencintai papa. Setia sekali mendampingi papa selama 28 tahun pernikahan kalian. Begitu sabar menghadapi kerasnya sifat papa. Ajarilah aku agar menjadi istri shalehah, yang patuh pada perintah suami, Ma. Sungguh suatu kebahagiaan bagiku jika aku bisa menyenangkan hati suamiku nanti.
            Mama, aku mencintaimu dengan segenap hidupku. Doakanlah aku agar senantiasa menjadi muslimah yang taat kepada perintah Allah SWT. Nilai – nilai agama yang Mama tanamkan sejak aku kecil kini menjadi pedomanku dalam bergaul di tengah lingkungan yang tidak lagi mengenal batas – batas kesusilaan.
            Aku berjanji menjadi putri yang terbaik bagimu. Aku berjanji akan belajar dan kuliah lebih rajin lagi. Aku berjanji tidak akan mengecewakanmu, Mama. Aku akan berusaha sekuat tenaga agar bisa mengangkat derajat Mama di mata orang – orang yang meremehkan Mama. Tidak hanya dengan materi, lebih dari itu. Aku akan membuatmu bangga dengan keindahan akhlak diriku sebagai seorang wanita muslimah yang taat. Dan ketaqwaanku pada Allah SWT karena Mama yang mengajari aku. Subhanallah.
Tanpamu tiadalah aku, Mama…
I LOVE YOU, MOM…
Wassalamualaikum Wr. Wb
Dwi Andari Romalan Gultom                                                                                   


Serpihan Kenangan Dari Seorang Penyiar Radio


“If she cry, please tell her that I love her…”
Lagu bernuansa slow rock dari penyanyi Jimmy Harnen, If She Cries, syahdu mengalun dari loudspeaker laptopku. Lagu yang enggan aku dengarkan karena membangkitkan kembali kenangan yang telah aku kubur dalam – dalam bersama seorang penyiar radio ternama di kota Jakarta.
Sebut saja nama penyiar itu adalah Andi. Aku berkenalan dengannya sejak masih duduk di bangku kelas XI SMA. Awalnya tidak ada perasaan khusus antara aku dengan dirinya. Namun karena sering berkunjung ke radio tempat Andi siaran, ditambah kami senang menghabiskan waktu selepas on air dengan berbincang – bincang mengenai banyak hal, menghadirkan rasa cinta di tengah – tengah kebersamaan kami. Tidak bisa aku pungkiri, saat itu aku memang mencintai Andi, meskipun aku tahu bahwa Andi adalah pria playboy. Tulus mencintainya dan mencoba tetap bertahan walau Andi sering bergonta – ganti pacar, membuat hubunganku dengannya bertahan lama, setidaknya selama dua tahun.
Puncaknya terjadi bulan Februari 2010 lalu. Pertengkaran hebat antara aku dengan Andi di telepon memicu perpisahan kami. Sebabnya mudah sekali ditebak, aku tidak tahan lagi menghadapi sifat jelek Andi yang suka memiliki banyak kekasih. Habis kesabaranku setiap kali mendengar Andi jatuh cinta pada wanita lain. “Apa kurangku terhadapnya sehingga dengan tega Andi terus menyakiti perasaanku?”, itu adalah pertanyaan yang tak kunjung aku dapatkan jawabannya dari Andi. Memutuskan untuk berpisah dan pergi meninggalkan Andi adalah hal terberat yang pernah aku lakukan seumur hidup. Belum pernah aku merasa hancur sampai nyaris bunuh diri hanya karena masalah cinta. Belum pernah aku merasa kehilangan yang begitu mendalam. Dunia terasa gelap. Untunglah aku memiliki seorang ibu yang memahami ilmu psikologi, terlebih sangat memahami sifat dan karakteristikku. Ibu begitu sabar menemani di saat – saat aku merasa rendah diri. Beliaulah yang kembali menanamkan kepercayaan diriku pasca berpisah dari Andi.
Perlahan tapi pasti, aku kembali seperti sedia kala. Aku lebih berlapang dada menerima kenyataan yang ada di depan mataku. Ikhlas melepas kepergian Andi adalah keputusan tepat yang aku ambil. Menyibukkan diri dengan berbagai kegiatan seperti ikut HIMA dan UKM di kampus membuatku lupa bahwa aku pernah mencintai dan hancur karena putus gara – gara pria bernama Andi. Dukungan orang tua, para sahabat, teman – teman, dan tentu saja “gebetan” yang tiada habisnya memberikan semangat, seolah – olah menjadi “nyawa” baru bagi kehidupan baru yang aku jalani.
Kini, 9 bulan setelah berpisah dengan Andi, aku mampu berdiri lagi di atas kakiku sendiri. Tidak ada lagi dendam, tiada lagi rasa sakit hati. Malah jika aku renungkan kembali peristiwa tersebut, aku merasa konyol sekali sampai nyaris mengakhiri hidup yang ternyata begitu indah, sangat indah, anugerah dari Allah SWT kepadaku. Namun, aku rindu pada Andi setelah dia tidak lagi siaran karena radio tempat dia bekerja sudah tutup. Bangkrut, itu adalah informasi yang aku dapatkan dari orang – orang terdekat dengan Andi – yang juga pernah bekerja di radio tersebut. Kaget aku mendengar kabar tersebut. Bagaimana nasib Andi dan rekan – rekan yang lain? Aku memikirkannya karena aku tahu betul keadaan Andi.
Meski rindu namun aku tidak ingin bertemu dengan Andi. Cukuplah doaku agar dia senantiasa diberi kemudahan yang menemani setiap langkahnya. Cukuplah kepingan – kepingan kenangan bersama Andi yang tersimpan dalam memori hatiku. Tidak akan aku lupakan setiap kebaikan yang Andi lakukan padaku. Tidak akan pernah terlupa setiap lagu yang Andi persembahkan untukku setiap dia siaran, salah satunya adalah lagu ini, Jimmy Harnen, If She Cries, yang diputar menjelang akhir program yang dia bawakan, Malam – Malam Ngerock, setiap Minggu malam.
Aku sentuh foto pria berkulit putih yang tersenyum di balik meja siaran. Perlahan air mata jatuh membasahi foto tersebut. Hanya itu satu – satunya foto Andi yang tersisa setelah semua aku sobek dan aku buang saat memutuskan untuk pergi darinya. Jimmy Harnen, If She Cries, terus mengalun dari laptopku. Terngiang setiap kalimat yang dia ucapkan ketika siaran dan memutarkan lagu ini special untukku. Tidak ingin larut dalam kenangan, buru – buru aku masukkan lagi foto Andi dalam laci meja. Mencoba tetap tersenyum, aku melangkah keluar kamar. Menatap kelamnya langit malam seraya memanjatkan doa,
“Tiada keinginan lain yang aku harapkan dari sosok Andi selain berharap Engkau selalu menjaganya dari bahaya, Ya Allah. Tunjukkanlah jalan yang lurus kepada Andi. Jadikanlah Andi termasuk golongan hamba – hambaMu yang sabar dan kaffah dalam naungan keridhaanMu…”
Tidak ada bintang yang bersinar kala aku mengucapkan untaian pengharapanku, hanya ada hembusan angin begitu sejuk membelai helai rambutku. Tetapi aku yakin, hembusan angin tersebut telah menyampaikan doaku kepada Illahi dan telah membawa salamku untuk Andi yang kini entah berada di mana.
                                                                        ***

“Aku persembahkan tulisan ini untuk seseorang yang pernah singgah di hatiku. Terima kasih untuk semua kasih sayang yang tercurah. Aku tidak akan melupakanmu. Terima kasih pula untuk lagu Jimmy Harnen, If She Cries, yang secara khusus kamu persembahkan untukku. Lagu itu yang sekarang mengingatkanku bahwa aku pernah mengenal dan mencintaimu…”

Dwi Andari Romalan Gultom



Senin, 10 Januari 2011

Aku Mencintai Jurnalistik Seperti Aku Mencintai Kekasihku Sendiri

            Di suatu sore, pertengahan bulan April 2010, aku dan sahabatku, Eka Apriliyani, berjalan – jalan menikmati pemandangan matahari terbenam di Pantai Indah Kapuk, Jakarta Utara. Kami asyik bercengkrama tentang banyak hal, sampai ketika Eka menanyakan alasanku mengambil jurusan jurnalistik.
“ Aku mencintai jurnalistik seperti aku mencintai kekasihku sendiri. Jurnalistik adalah pilihan hidupku. Jadi, apapun resiko yang terkandung di dalamnya aku telah siap menanggungnya. Aku tidak mencari kekayaan di profesi ini. Tapi yang aku cari adalah sebuah kepuasan batin saat aku bisa memberitakan sebuah peristiwa secara jujur dan lengkap tanpa ada yang ditutup – tutupi kepada masyarakat luas. Karena menjadi seorang jurnalis lebih dari sekadar pekerjaan. Bagiku, menjadi seorang jurnalis adalah sebuah panggilan jiwa yang harus aku tunaikan dengan sebaik – baiknya”.
            Itulah jawaban yang aku katakan kepada Eka Apriliyani, yang merasa heran atas pilihanku mengambil jurusan jurnalistik. Sedikit jengah atas semua keheranan yang gadis itu tujukan padaku, aku pun bertanya balik, “ Memang apa yang salah dengan jurnalistik? Bukankah jurnalistik adalah sebuah bidang ilmu yang cukup unik dan berbeda dari bidang – bidang ilmu lainnya? Semua bidang ilmu itu baik, tapi kenapa kamu seperti memandang sebelah mata jurusan jurnalistik?”. Tak ada jawaban. Yang aku dapat hanya seulas senyum kecut dari Eka yang menganggap jawabanku barusan tak ubahnya nyanyian sendu penghantar tidur.
            Sampai akhirnya Eka menjawab,” Aku tidak memandang remeh ilmu jurnalistik, Dwi. Tapi aku tidak habis pikir, kenapa kamu berani mengambil resiko sedemikian besar dengan mejadi seorang jurnalis? Motivasi apa di balik kuatnya keyakinan kamu untuk menjadi jurnalis? Dan apakah kamu menyadari betul resiko yang ditanggung seorang jurnalis? Kamu bisa saja diteror oleh orang – orang yang tidak menyukai pemberitaan kamu, bahkan lebih buruk dari itu, kamu bisa meninggal saat sedang meliput. Apakah kamu tahu itu, Dwi Andari??”.
            Jantungku berdegup keras saat disodori pertanyaan tersebut. Bukan karena aku tidak bisa menjawab. Justru karena aku sudah siap dengan jawaban yang selama ini aku pegang teguh sebagai janji setiaku pada profesi ini.
            Dengan penuh kemantapan hati aku menjawab,
“ Menjadi seorang jurnalis adalah cita – citaku semenjak aku kecil. Seperti yang barusan aku katakan padamu Eka, bahwa aku memilih profesi ini bukan untuk mencari kekayaan financial. Tapi lebih dari itu, aku mencari sebuah kepuasan batin yang tak dapat diukur oleh materi. Aku memilih menjadi jurnalis justru karena aku sudah mengetahui segala resikonya, dan aku siap, bahkan untuk kemungkinan terburuk sekalipun. Karena mati dalam menegakkan kebenaran adalah sebuah perjuangan mulia yang mungkin hanya aku rasakan sekali seumur hidup. Bukankah mati dan kematian ada di tangan Sang Khalik yang maha Mengetahui? Lalu kenapa harus takut? Yang aku takutkan hanyalah Dia, sang Pemilik Kehidupan. Aku tahu ini tak akan mudah. Tapi aku yakin, dengan kesabaran tanpa akhir dan perjuangan dalam memberikan berita yang jujur kepada masyarakat, keterbukaan informasi pasti akan terwujud. Akan tercipta sebuah system pemberitaan yang independen. Di mana semua lapisan masyarakat dapat mengetahui segala peristiwa tanpa ada kebohongan, atau rekayasa. Eka, jika menjadi jurnalis adalah kebahagiaanku, kenapa kamu sebagai sahabatku tidak mendukungku?”, aku bertanya pada Eka yang wajahnya sudah menunjukkan kesedihan.
“ Bukan aku tidak mau mendukung semua keinginan yang menjadi kebahagiaan kamu, Dwi. Tapi sudah banyak sekali berita yang menayangkan tentang para jurnalis yang tewas terbunuh karena ulah pihak – pihak tertentu yang tidak suka atas pemberitaan mereka. Jika itu terjadi padamu, bagaimana? Lagipula jika kamu harus liputan jauh sekali dari tanah air dan di daerah konflik, Palestina misalnya, apakah kamu siap?”, kali ini Eka bertanya dengan bahu terguncang, menangis. Jelas sekali bahwa sahabat yang 15 tahun aku kenal itu menyimpan kekhawatiran tersendiri atas diriku. Dalam diam aku terharu pada perhatian Eka. Dari atas jembatan, ku tatap sinar orange matahari sore yang terpantul dari aliran sungai yang airnya telah menghitam.
Sendu aku menjawab karena aku tidak ingin melukai perasaan sahabat yang begitu tulus memperhatikanku.
“ Aku siap, Ka. Di manapun aku ditugaskan nanti, aku sudah siap. Bahkan di daerah konflik yang jauh dari tanah air. Tapi, bukan berarti aku pasukan berani mati seperti beberapa organisasi keagamaan itu. Sambil liputan tentu saja aku akan mencari tempat yang aman. Dapat berita eksklusif tapi tetap aman, itulah seni bertahan menjadi jurnalis. Sudahlah, tidak usah khawatir, semua pasti akan baik – baik saja. Masih banyak juga para jurnalis yang ditugaskan meliput ke daerah perang dan kembali dengan selamat”, kataku sambil tersenyum. Perlahan Eka mulai tersenyum kecil, namun tetap mempertanyakan hal lain mengenai jurnalistik. Kali ini tentang Kode Etik Jurnalistik dan beberapa pemberitaan di media massa.
“ Apa gunanya Kode Etik Jurnalistik itu, Dwi? Apakah semua wartawan Indonesia patuh pada Kode Etik yang telah ditetapkan?”, tanya Eka sambil duduk di atas rumput, tangannya memainkan beberapa ranting kering.
            Sambil meluruskan kaki yang pegal akibat lelah berjalan, aku menjawab,
“ Kode Etik Jurnalistik itu ibarat polisinya para jurnalis. Dibuat agar para jurnalis tidak menyalahgunakan profesinya untuk maksud – maksud tertentu, seperti; pemerasan terhadap narasumber, dan mengeruk keuntungan pribadi atas peristiwa yang diberitakannya. Kode Etik juga mengatur bagaimana seharusnya para jurnalis bertingkah laku dan bersikap di tengah masyarakat sehingga citra positif profesi jurnalistik di mata masyarakat tetap terjaga. Kode Etik Jurnalistik harus dipatuhi wartawan Indonesia karena menjadi pedoman dalam pemberitaan mereka. Wartawan juga manusia, Eka. Ada kalanya melakukan kesalahan. Dengan adanya Kode Etik Jurnalistik, narasumber yang merasa ada kesalahan dalam pemberitaan di media massa bisa langsung memberikan tanggapan, bisa dengan menggunakan hak koreksi atau hak jawab. Jurnalis juga bisa menggunakan hak tolak, yaitu hak untuk menyembunyikan identitas narasumber. Sehingga narasumber tetap merasa aman saat memberikan suatu informasi penting kepada wartawan karena keselamatannya terjamin. Seperti itulah Kode Etik Jurnalistik, Eka”, terangku panjang lebar. Tampak Eka mengernyitkan dahinya, siap memberikan pertanyaan selanjutnya. 
“ Lalu, apa sanksinya jika ada wartawan yang melanggar Kode Etik Jurnalistik, Dwi?”
            Aku menghela napas panjang, berpikir. Ini seperti salah satu sesi kuliah Etika Komunikasi di kampus. Di mata kuliah itulah aku banyak mempelajari tentang Kode Etik Jurnalistik.
“ Sanksi terberat adalah si wartawan yang melanggar harus melepas profesi kewartawanannya untuk selama – lamanya. Tapi biasanya diberlakukan sanksi moral seperti dikucilkan, atau tergantung di perusahaan media mana si wartawan berasal, perusahaanlah yang bisa memberikan sanksi apa yang diberikan kepada wartawan bersangkutan sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan”.
            Eka tersenyum, tanda bahwa dirinya telah mengerti semua yang aku jelaskan. Matahari telah sempurna tenggelam di ufuk barat. Kilauan sinar jingga di awan telah berganti gelap. Aku bangkit membersihkan pakaian dari ranting – ranting yang menempel. Kami bersiap pulang. Sambil berjalan santai, Eka berkata,
“ Aku sungguh bangga memiliki seorang sahabat yang begitu teguh berprinsip menjadi seorang jurnalis yang baik. Tapi aku masih punya satu pertanyaan tambahan lagi”, matanya jenaka melirik – lirik ke arahku.
“ Tanya apa lagi nih, bocah? Sudah ah, capek tahu!!!”, aku pura – pura cemberut menatap balik sahabatku itu.
“ Kamu bilang bahwa kamu mencintai jurnalistik seperti kamu mencintai kekasihmu sendiri. Memangnya kekasih kamu siapa, Dwi??”, kali ini Eka betul – betul menggodaku. Aku merasakan wajahku panas, mungkin wajahku telah memerah karena malu. Untunglah gelap, sehingga Eka tidak begitu detail melihat perubahan warna wajahku.
“ Hei, siapa kekasihmu itu Dwi?”, Eka berlari mengejarku
“ Aku jomblo, Eka. Belum punya kekasih”, jawabku singkat. Syukurlah dia percaya, sehingga tak banyak bertanya yang aneh – aneh lagi.
            Sepanjang perjalanan pulang, aku merasa bahagia. Andai Eka tahu siapakah sosok pria yang kini menjadi pangeran dalam hatiku. Pria yang berhasil mencuri perhatianku juga seorang jurnalis. Dialah yang memberikan motivasi luar biasa padaku untuk mengabdi total pada masyarakat dalam memberikan informasi yang jujur. Namun jauh dalam lubuk hatiku, aku makin bangga menjadi JURNALIS!!! Ayo maju jurnalis Indonesia!!!